Minggu, 31 Oktober 2010

Senangnya Bisa Berbagi.....

Sabtu sore yang mendung seperti halnya mendungnya hatiku, hati kami sekeluarga. Ayahku minta pulang paksa dari rumah sakit... sesuatu yang sangat membuat kami bingung, secara medis kondisi jantung ayahku memang susah untuk pulih, bahkan beberapa kali kritis di rumah sakit. Itu mengapa kami semua datang, kecuali kakak sulungku yang memang jauh di Flores. Namun begitu, anak lelakinya yang kuliah di Surabaya sudah meyempatkan menunggui neneknya.
Ketika ada permintaan itu rasanya menjadi aneh dan membuat was-was. Tetapi manusia tak boleh berprasangka dan harus menjalani semua takdir dengan ikhlas. Dokter membolehkan karena ayah bersikeras, kami pun menyerah, kendati dengan berlinang-linang.
Suamiku sudah menjemput ayahku dari rumah sakit, karena mobil kecil, ada kakak, ayahku dan ibuku yag mesti diangkut, maka aku tidak bisa ikut. Sepakat aku akan menyusul saja naik motor. Hujan mengancam turun ketika memboncengkan sulungku Narendra, jadi kuputuskan naik angkutan umum.
Kami menunggu di teras depan sebuah toko kelontong. Di sebelah kami duduk sopir dan  kenek colt angkutan umum, mobil itu sudah tidak karuan warnanya diterjang umur. Sisi ausnya terlihat jelas dari karat yang menempel di batas-batas jendela kaca. sopir dan kenek itu memandang cemas pada mendung yang menghitam. Dua orang pelajar SMK mengepit tasnya erat-erat, seolah takut petir akan menyambar tas kusam mereka.  Kemudian ada aku dan anakku, juga cemas, bahkan dengan sangat karena mengkhawatirkan ayahku.
Hujan deras pun datang, disertai angin dan membuat tampias ke arah kami semua. Rendra cemberut, dalam keadaan biasa saja, tidak di pinggir jalan begini pasti akan sebaliknya. Tanpa dikomando dan mengabaikan laranganku, pasti dia akan menghambur ke halaman untuk hujan-hujan. Tapi kali ini dia hanya terpaku menatap dedaunan pohon kersen yang tak kuasa menampung jatuhnya hujan. Dilontarkannya kembali butir air dari langit itu ke tanah.
"Waah masuk colt situ malah tidak kena tampias sebenarnya," ujar sang sopir. Dia langsung menghambur ke arah colt berplat kuning yang sudah parkir lebih dari sejam. Sopir berusia 50-an tahun menuju jok belakang karena percuma juga di balik stir karena begitu berembun dipastikan tak bisa menyopiri colt-nya di jalan raya karena kaca begitu buram.
Seolah membawa magnet, yang dilakukan sopir itu segera ditiru kenek, kedua pelajar bertas kusam, juga olehku dan Narendra. Kami tersenyum di dalam mobil tua ini, merasa aman dari tampias hujan. Namun ternyata kelegaan yang tak lama. Di sana-sini atap colt  mulai bocor, basah di beberapa bagian termasuk yang kududuki. Anakku yang jarang mau diajak naik kendaraan umum segera memanyunkan bibir.
Begitu hujan agak reda, sopir berusaha menjalankan mobil dengan pelan-pelan. Sebelum beranjak kami mendapat tambahan dua siswi SMK lagi. Mereka mengingatkanku saat masih bersekolah dulu, selalu naik cotl umum begini. saat itu antara tahun 1992-1995 dan masih Rp 100 sekali jalan. Saat itu kami juga santai merasa keren-keren saja naik colt, bercanda dan berdesakan bahkan tak jarang saling mengulurkan uang receh kembalian atau menunggu dengan sabar ketika kenek berteriak memanggil-manggil calon penumpang. "Sekarang sudah beda mbak, motor bisa dikredit dengan uang muka murah, pulang pergi bisa minta jemput setelah kirim sms," ungkap Pak Sopir ketika kuceritakan aku juga suka naik colt saat masih sekolah.
Sudah dua hari ini, Parmin, sebut saja begitu, sopir colt itu, berhutang pada pemilik kendaraan. Bahkan hari itu dia mengaku terpaksa mengambil jatah setoran lagi untuk makan siang bersama keneknya. "Bagaimana lagi setoran memang tak cukup," ujarnya.
Hujan masih rintik-rintik, dan colt ini memang tak bisa diajak berjalan cepat. Kuulurkan selembar uang pada kenek sambil berpesan tidak usah diberi kembalian. Dia tampak takjub dan serentetan kalimat segera meluncur dari bibirnya. "Mbak, makasih yaa, makasih sekali kami doakan mbak sekeluarga sehat  terus, nanti Allah yang membalas," ujar Parmin, sang sopir dari balik setir.
Mendengar kalimat itu aku jadi sangat malu. Yang kuberikan padanya hanyalah sebagian kecil dari keuntunganku saat ada beberapa pembeli produk oriflame memesan padaku. Ya, direct sellingku dua minggu ini sudah tupo walau kujadikan sambilan karena mengurus ayah di rumah sakit. Sebagian keuntungan tulah yang kuulurkan pada kenek. Dalam hati, aku berterimakasih pada oriflame yang sudah membuat produk hebat sehingga menimbulkan kepercayaan orang untuk memakainya. Jalan yang membuatku bisa berbagi dengan pak sopir dan keneknya ini. Tak seberapa banget uangnya itu bagi mereka yang berpunya, namun menjadi tetes embun penyegar dahaga bagi yang membutuhkan.
Alhamdulillah, kami turun dengan senyum mengembang. Aku senang sudah sampai dengan selamat. Pak sopir dan kenek senang karena hujan reda dan colt itu tak bocor lagi.  Begitu turun langsung disambut senyum manis suamiku,  membawa kami bertemu ayah dan bercengkerama dengannya, menemaninya menghabiskan waktu bersama kami bersaudara, menantu dan para cucu... terimakasih ya Allah atas segala pertolongan-Mu sehingga kami bisa berbagi bersama sampai sekarang ini....

1 komentar:

  1. duh, panas rasanya mata ini baca postingannya mba kun...:) You're a great writer mba!!! Two thumbs up!!! :)
    Alhamdulillah ya mba, kita ditunjukkan peluang bisnis mudah dan murah ini, jadinya bisa berbagi kyk mba kun:)
    Mba, bole juga lho Pak Sopir itu ditawarkan peluang serupa yg dah Mba jalanin, sapa tau beliau jg bisa merasakan spt yang mba rasakan dan mendapatkan spt apa yg mba dapatkan:)
    Di bossfam, ada lho driver yang mampu meliat peluang memperbaiki nasib di oriflame, tar aku ngubek2 milis dulu ya cari sharing-nya:)
    Semangat mbaaa!!! Buruan rekrut yang banyak, biar rejekinya makin banyak, dan bisa berbagi lebih banyak, amiin:)

    BalasHapus